• Home
  • Hortikultura

Lebih Prospektif, Lulusan IPB ini Bidik Usaha Agribisnis Pertanian

24 Okt 2024, 07:23 WIB | Indarto

Petani milenial sedang panen cabai | Dok. Istimewa

AGROMILENIAL.COM, Jakarta --- Memulai usaha tani tidaklah semudah membalikkan tangan. Usaha pertanian yang dimulai dari hulu-hilir perlu perlakuan khusus dan ketekunan. Berbekal pendidikan tinggi bukan jaminan untuk sukses menjadi entrepreneur di bidang agribisnis pertanian. Namun, ditangan  anak-anak milenial, usaha agribisnis pertanian justru menjadi tujuan bisnis utama mereka setelah lulus kuliah. 

Baca Juga :

Berbekal pengetahuan dari kampus dan kemauan keras, Idam Khalid bersama dua temanya, Muh. Anugerah Raharjo (Nuge) dan Dwi Agustajaya akhirnya membentuk usaha di bidang pertanian dengan nama Jong Farmer.

Owner Jong Farmer, Idam Kholid mengaku, setelah lulus dari Fakultas Ekonomi  dan Manajemen Agribisnis IPB University bertekad menekuni bisnis di bidang pertanian. Alasannya, bisnis di bidang pertanian sangat menantang dan prospektif.

 “Apabila usaha pertanian ini dikelola dengan baik dari hulu-hilir akan menguntungkan. Selain itu, kami bertekad membantu petani untuk menjual produknya dengan harga yang wajar,” kata Idam, di Jakarta, Kamis (24/10).

Tepatnya, 1,5 tahun lalu Idam bersama temannya memulai usaha taninya dengan menyewa lahan di kawasan Bogor. Lahan tersebut selanjutnya diolah dan ditanami aneka sayuran seperti terong, jagung, cabai besar dan cabai rawit.  

Idam bersama dua temanya (Nuge dan Dwi) kemudian membuat usaha bersama dengan label Jong Farmer. Di bawah bendera Jong Farmer ini, petani milenial tersebut menyewa lahan 1,2 hektar di kawasan Ciherang dan Laladon, Bogor, Jawa Barat (Jabar). Lahan tersebut ditanam sejumlah sayuran seperti cabai rawit, cabai merah besar, terong, dan jagung.

“Sayur yang kami tanam tersebut sudah panen semua. Saat ini kami baru mulai olah lahan untuk  persiapan tanam lagi,” ujarnya.

Menurut Idam, hasil panen sayur seperti terong dan cabai beberapa waktu lalu hasilnya  cukup bagus. Seperti terong bisa dipanen pada umur 4 bulan.  Setelah dipanen, terong bisa diual ke warung-warung sayur dan perumahan sekitar dengan harga Rp 5.000 per kg. Cabe besar Rp 20.000 per kg dan cabai rawit Rp 32.000 per kg.

“Kalau dijual ke tengkulak, terong hanya dihargai Rp 1.000 per kg. Karena itu, kami juga mengajak petani sekitar untuk melakukan penjualan bersama ke perumahan-perumahan. Kami juga menjualnya  dengan sistem open PO (pre order) di grup WhatsApp (WA),” kata Idam.

Permintaan sayur dari grup WA pun cukup bagus. Bahkan, petani milenial ini sempat menjual jagung manis sampai ke sejumlah perumahan di Depok, Tangerang dan Jakarta. Jagung manis tersebut sebagian dibeli dari petani sekitar dengan harga Rp 5.000 per kg, kemudian dijual langsung ke pembeli (melalui open PO) dengan harga  Rp 15.000 per  2 kg.

“ Jagung manis tersebut kalau dijual ke tengkulak hanya dihargai Rp 1.000 per kg. Begitu juga kalau dijual ke pasar induk harganya Rp 1.700-Rp 2.500 per kg. Harganya jatuh dan petani tak dapat untung,” katanya.

Guna mengatasi kesenjangan harga di tingkat petani, Idham mulai menggandeng dan membantu petani sekitarnya untuk menjual produk pertaniannya secara langsung ke pembeli. Jika ada pembeli yang melakukan pemesanan via grup WA, langsung diantara ke tempatnya.

“ Ada sekitar 5 ton jagung manis yang kami jual ke sejumlah perumahan, seperti di BSD, Permata Hijau dan sejumlah perumahan di Jakarta. Pembeli merasa puas karena jagung yang kami jual dalam kondisi fresh,” paparnya.

Membentuk  Gapoktan

Sesuai rencana, Idam akan membentuk gabungan kelompok tani (gapoktan).  Melalui gapoktan inilah diharapkan, setiap petani yang menjadi anggota bisa mendapatkan informasi sistem olah lahan, tanam hingga akses pasar.  Mengingat, untuk mengembangkan  usaha tani tidaklah mudah. Pertama, permasalahan minimnya permodalan. Kedua, sulitnya menjual hasil panen dengan harga wajar. Ketiga, lemahnya akses pasar bagi petani

Idam juga berharap, melalui gapoktan para petani bisa mengembangkan teknologi pertanian mikroba yang telah diaplikasinya selama ini. Sistem pertanian dengan teknologi miktoba  yang dilakukan adalah dengan pembenahan kesuburan tanah.

“ Melalui pemanfaatan bioteknologi ini, petani bisa menekan penggunaan pupuk hingga 6 kali lipat.  Artinya, jika sebelumnya memanfaatkan teknologi ini petani memerlukan pupuk 3.000 kg, maka petani bisa meneka penggunaan pupuk hanya 100 kg,” katanya.

Sistem pertanian yang dikembangkan anak-anak milenial ini bisa dibilang masih konvensional. Sebagian olah lahan masih dilakukan dengan mencangkul dan sebagian lainnya memanfaatkan traktor.

Menurutnya, sayur seperti cabai dan terong akan tumbuh subur dengan aplikasi sistem mikroba.  Penggunaan pestisida bisa ditekan dari 33 kali menjadi hanya 10 kali. Bahkan, untuk tanaman terong sudah tanpa pestisida.

“ Untuk menjaga kesuburan tanah, kami membuat pupuk sendiri berupa pupuk kandang dan kompos. Hal ini kami lakukan untuk mengembalikan kesuburan tanannya,” pungkasnya. (dar)