• Home
  • Laut dan Ikan

Pasar Sudah Terbentuk, Fillet Patin Potensial untuk Pasar Ekspor

16 Jan 2025, 07:34 WIB | Indarto

Ketua Dewan Pembina APCI, Imza Mahendra | Dok. Istimewa

AGROMILENIAL.COM, Jakarta --- Budidaya patin di masyarakat , khususnya di Sumatera, Kalimantan Selatan, Jawa (Jawa Timur) terus berkembang. Masyarakat bisa membudidaya patin di keramba jaring apung (KJA), kolam dalam, kolam beton, bahkan di kolam terpal. Dari tahun 2021 sampai sekarang, usaha budidaya patin terus berkembang, khususnya untuk fillet patin. Di industri skala kecil saja, produksi fillet patin bisa mencapai 15 ton per hari. Pasarnya pun bisa dibilang sudah terbentuk, mulai dari rumah tangga, warung makan, hotel, restoran, dan kafe (Horeka). Bahkan, untuk fillet patin sudah merambah pasar ekspor.

Baca Juga :

Ketua Dewan Penasehat  Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI) dan juga Ketua Umum Kerapu (Keluarga Alumni Perikanan Undip), Imza Hermawan mengatakan, usaha budidaya patin pada tahun 2025 masih prospektif. Dari sisi pasar, cakupannya cukup luas. Khususnya, untuk pasar dalam negeri dengan penduduk 270 juta jiwa, potensinya cukup besar. Bagitu juga untuk pasar ekspor masih terbuka untuk fillet patin.

“ Kami pada  tahun 2020  lalu sudah ekspor fillet patin ke Saudi Arabia. Ketika itu kami ekspor sebanyak 250 ton,” kata Imza Hermawan, di Jakarta, belum lama ini.

Menurutnya, khusus untuk ekspor fillet patin harus dilakukan upaya lagi dan pemerintah harus ikut campur tangan. Hal itu dikarenakan, pasca covid 19, ada syarat tertentu dari lembaga berwenang di Saudi Arabia  mewajibakan prose ketelusuran. Artinya, barang yang akan diekspor harus dilihat dulu. Dalam proses traceability, ada ketentuan untuk biaya audit sebesar 29 ribu real.

“  Prospek ekspornya masih terbuka dan saat ini harus digali lagi. Sebab, kalau mengandalkan pasar dalam negeri,  usaha budidaya patin akan stagnan,  pertumbuhannya lamban.  Harus ada upaya pemerintah untuk mengembangkan ekspor fillet patin,” jelas Imza Hermawan.

Imza Hermawan  mengatakan, potensi ekspor fillet patin selain ke Saudi Arabia, bisa juga diarahkan ke Jepang. Hingga saat ini, Vietnam masih menjadi salah satu negara pengekspor patin (fillet,red) terbesar dunia. “ Data dari Vietnam menyebutkan, ada sekitar 100 negara yang memanfaatkan patin untuk  kebutuhan sehari-hari. Selain Vietnam, Banglades juga sudah mulai ekspor patin ke sejumlah negara,” jelasnya.

Menurutnya, usaha budiday patin di tanah air memang masih kalah jauh dengan Vietnam. Di Vietnam, untuk skala industri mampu memproduksi 80-200 ton patin per hari. Budidaya patin di Vietnam sudah sangat efisien. Musabnya, mereka sudah mampu memanfaatkan limbah patin untuk dijadikan aneka olahan,minyak ikan, tepung ikan dan lain-lain.

“ Produk samping usaha patin cukup besar. Kalau misalnya produk yang dihasilkan 5 ton, maka produk saping yang dihasilkan bisa setengahnya. Side product itu bisa dijadikan aneka olahan, minyak ikan dan lainnya. Jadi, sangat efisien sistem usaha budidayanya,” katanya.

Kendati masih kalah dengan Vietnam, lanjut Imza, usaha budidaya patin di tanah air saat ini sudah cukup bagus. Pembudidaya  sudah banyak yang mampu menghasilkan patin dengan warna daging putih, seperti di Kabupaten Kampar, Riau mampu memproduksi patin hingga 100 ton dengan daging berwarna putih. Pembudidaya patin di Kampar sudah mampu meningkatkan produknya dengan baik apabila diimbangi dengan harga pasar yang cukup baik.

“Kalau ada yang bilang, budidaya patin butuh pakan banyak. Itu tak masalah, asalkan FCR-nya sesuai atau sebanding dengan banyaknya pakan yang diberikan dan harga jual di pasar tinggi,” ujarnya.

Para pembudidaya patin pun sudah menerapkan cara budidaya ikan yang baik (CBIB). Sehingga, untuk produksi dan pakan tidak ada masalah mendasar bagi mereka. Para pembudiaya ada yang memanfaatkan pakan pabrikan dan ada juga yang memadukan dengan pakan mandiri berbahan baku lokal, untuk menekan cost produksi.

Budidaya patin tak hanya berkembang di Jawa (khususnya Jawa Timur). Tapi, sudah meluas hingga ke Sumatera dan Kalimantan (Kalsel). Bahkan, sebanyak 60 persen produksi patin nasional dihasilkan dari Sumatera dan Kalimantan.

Sebaran budidaya patin di Sumatera, umumnya terdapat di Sumatera Selatan, seperti di di Oku Timur, Musi Banyuasin, dan Lampung (Lampung Timur). Di Jawa, khususnya di Jawa Timur (Tulungagung), Kalimantan Selatan, khususnya di Banjar Baru. Sedangkan  di Riau, banyak dikembangkan di Kabupaten Kampar. Di Sumatera Utara, berkembang di  Deli Serdang. Data APCI menyebutkan, ada sekitar 400 pembudidaya patin yang tersebar di tanah air.

Menurut Imza, pembudidaya patin tak selamanya harus terintegrasi dengan pabrik pengolahan ikan (fillet). Sebab, di kawasan Kalimantan dan Sumatera, masyarakat sudah lebih dahulu mengenal patin dari perairan (sungai) di sekitarnya, sehingga lebih mudah untuk sosialisasinya  ke masyarakat. Bahkan, di kawasan Sumatera dan Kalimantan (Kalsel), patin sudah dijadikan  konsumsi harian masyarakat. Patin, sudah banyak dijual di pasar, rumah makan hingga restoran.

Beda dengan di Jawa. Masyarakat di Jawa lebih mengenal lele dibanding patin. Sehingga, produk patin di Jawa lebih diarahkan untuk dijadikan olahan berupa fillet patin. Untungnya, di Jawa, khususnya Jawa Timur banyak pabrik pengolahan ikan, sehingga banyak pembudidaya patin sudah menjalin kerjasama dengan pabarikan. Jika belum melakukan kerjasama, mereka bisa menjual patin ukukuran fillet ke pengepul, yang kemudian dijual ke pabrik pengolahan ikan.

Dijadikan Fillet Patin

Salah satu pembudiday patin asal Trenggalek, Jatim, Suroso mengakui, potensi  budiday patin yang dilakukan di kolam beton kualitasnya cukup bagus. Ia membudidaya patin untuk dijadikan fillet, sehingga butuh waktu sekitar 6-7 bulan untuk mencapai ukuran fillet patin.

Dalam memasarkan produk patinnya, Suroso pernah bekerjasama dengan pabrikan (perusahaan pengolahan ikan). Namun, saat ini ia tak lagi melakukan kerjasama.  Patin yang dipanen, biasanya dijual langsung ke sejumlah pengepul atau suplayer, kemudian dijual lagi ke pabrikan.

“Di Trenggalek, Jawa Timur (Jatim) ada empat pabrik ikan fillet. Hanya saja permintaan sedikit, Sejak April - Juni 2024 harga sempat jatuh Rp 13.000 per kg.  Bahkan, saat ini harga patin hanya Rp 14.000-Rp 15.000 per kg, sebelumnya sempat di angka Rp 19.000 per kg,” kata Suroso.

Suroso mengatakan, untuk bibit patin diperoleh dari Tulungagung, Jatim ukuran 5-7 Cm dengan harga Rp 300 per ekor. Kemudian, bibit tersebut dibesarkan di kolam,  kurun 6-7 bulan bisa dipanen.

Budidaya patin dilakukan di kolam beton ukuran 23 meter x 23 meter (2 kolam) dan ukuran 30 x 8 meter (2 kolam). Masing-masing kolam  kedalamannya 2 meter. Setiap kolam padat tebarnya 20 ekor per m2.  Satu kolam ukuran 23 x 23 meter bisa ditebar benih patin sebanyak 15.000 ekor.

“ Rata-rata tiap kolam bisa panen 7,5 ton patik ukuran 1,5 kg per ekor. Patin yang dipanen kemudian dijadikan fillet,” ujarnya.

Budidaya patin yang dilakukan cukup sederhana. Selain rutin memberi pakan pabrikan, Suroso juga melakukan manajemen pengelolaan air dengan baik.  “ Kuncinya hanya manajemen air. Ketika selera makan ikan mulai berkurang, air dalam kolam harus segera diganti. Begitu seterusnya, air dalam kolam secara rutin diganti bagian atasnya,” pungkas Suroso. (dar)